Langsung ke konten utama

BAHAGIA "CERPEN"



BAHAGIA
Terlihat seorang pria sedang duduk santai menikmati sisa-sisa hari setelah seharian ia disibukkan oleh pekerjaannya, ditemani secangkir kopi, dan sebuah tv dengan layar selebar dinding dihadapannya. Ia memandang kosong pada layar dihadapannya seolah takada yang menarik didalam sana, kemudian ia termenung “mengapa aku selalu seperti ini, mengapa bahagia tidak bisa tinggal saja bersamaku, ia datang kemudian pergi lagi, apakah aku harus selalu mengundangnya untuk datang hah?”

“apalagi sih, mobil? Garasi rumahku sudah terlihat seperti tukang jual mobil saja, uang? Uangku sudah ku investasikan kemana-mana, tapi tetap saja ada uang berserakan hingga pembantuku harus sibuk menyapunya”

“apa lagi yang kurang ah… ya ini rahasiaku, ssttt jangan bilang-bilangya, sampai sekarang ini belum ada juga yang mau denganku ini, padahal dulu aku seorang juara sempoa, ‘waktu sma’ dan juga aku ini bisa dibilang seorang pujangga”
Setelah kepalanya pusing dengan segala pertanyaan yang berputar dikepalanya, ia akhirnya menunjukkan minatnya itu pada layar didepannya. “para calon wakil rakyat sedang sibuk blusukan diluar sana, ngga mau mampir kerumah saya pak?” “eh…” dia terlihat focus sekali “antara dia dengan rakyat tidak terlihat berbeda, hanya rambutnya saja yang terlihat licin”

Muncullah ide dari pria ini “bagaimana kalau aku blusukan dengan para karyawanku yah?”
Keesokan harinya
Pria ini keluar kamar dengan celana gombreng, baju kaos, dan juga sarung yang melingkar dari bahu kirinya. Entahlah kemana kemeja, jas, dan sepatu pantofel yang biasa dia gunakan.

Dia berbaur dengan para pekerja lainnya, yah memang dia dikenal sebagai bos yang murah hati, tapi para pembantu tidak begitu hapal dengan wajah tuannya, yah mungkin memang karena kesibukannya yang luar biasa.

“pak mari saya bantu cuci mobilnya?”
“ah iya silahkan, tapi dimana seragammu?”
“seragam?” pria ini kelabakan sendiri
“iya kamu tidak tahu kalau tuan selalu ingin terlihat semuanya rapi, bahkan dia juga membuatkan seragam untuk kita ini.”
Keluarlah pria ini dengan seragam kerjanya, yah memang auranya hampir saja bocor  pada karyawannya yang satu ini

“kamu disini anak baru tapi kok, saya kayak tidak asing dengan wajahmu ya?”
“ah.. bapak ini wajah saya ini kan pasaran” candanya
Baru kali ini ia terlihat bicara biasa, karena biasanya ia selalu saja bicara secara formal
Ia menikmati waktunya bersama para pekerjanya, dan pekerjanya sama sekali tidak menyadari bahwa ada tuan mereka disana yang bekerja bersama.
Hingga tak terasa sudah pukul 12 siang.

“Ayo kita masuk” ajak bapak itu. “tapi ini kan belum selesai pak kerjaanya”
“biarkan saja ini waktu istirahat, dan tuan tidak suka kita bekerja diwaktu istirahat yang sudah dibuatnya”
Sekarang mereka berada disuatu ruangan yang sangat besar, mungkin seperti aula, dan disana sudah tersedia prasmanan.

“lihatlah betapa baiknya tuan kita, ia menyediakan tempat sebagus ini untuk kita, dan juga jaminan untuk keluarga”
Ia merasa heran bukankah ini adalah haknya untuk mendapatkan kemudahan atas pekerjaannya, lalu mengapa ia sangat bersyukur seperti ia akan masuk kedalam surga?
“tapikan pak ini hak bapak dan para pekerja?”
“iya saya tahu, meskipun tuan jarang berbicara pada kami, tapi kami tau kebaikan hatinya, seperti saya ini sudah 25 tahun bekerja disini, dan anak saya berhasil menjadi seorang dokter anak sekarang ini juga berkat bantuan dari tuan.”

“Lihatlah menu hari ini” “ada apa dengan menunya?” tanyanya heran
“apa yang kita makan itu juga yang dimakan oleh tuan”
Ia kemudian ingat selalu berkata pada sekertarisnya “apa yang kumakan harus dimakan oleh para pekerjaku juga”
Ia tidak tahu bahwa perbuatan kecilnya itu sangat dihargai oleh pekerjanya

“nak sudah sampai”
Pria ini bingung siapa, apa dia berbicara padanya, tapi bukannya dia sedari tadi ada disini, lalu apa yang baru sampai? Ia akhirnya melihat kearah bapak itu memandang terlihatlah seorang wanita yang mengenakan kemeja biru bermotif lurik lengan panjang, dan juga celana panjang berwarna navy blue yang terlihat sedikit longgar dikakinya, dan juga sepasang selop tanpa hak yang mempercantik tampilannya.

“assalamualaikum pak”
“walaikumsalam nak, gimana kerjanya?”
“yah lancer pak, tapi seperti biasa pasti ada saja anak yang suka menangis” diiringi sedikit tawa.

Dan akhirnya berbincanglah ayah dan putri ini ditambah pria ini
“baiklah saya mau pergi solat dulu”
“pak kok ngga nunggu saya?” Tanya pria itu
“habiskan dulu nasi dipiringmu itu, baru menyusullah ke masjid”

Pria itu pun melihat piringnya yang ternyata masih berisi setengahnya, yah ini adalah kebiasaannnya dia tidak bisa makan terlalu cepat.
Segera saja ia membersihkan sisa-sisa makanan dipiringnya, sebelum beranjak untuk menyimpan piring didapur ia dikagetka karena wanita anak bapak tadi memanggilnya.
“pak ilham kan?”
Pria ini tertegun mengapa wanita ini mengenalinya, bukan sebagai pekerja tetapi sebagai tuan dirumah ini.

“anda mengenal saya?”
“tentu saja bagaimana tidak, wajah bapak selalu wara-wiri dimajalah yang say a baca, dan kagum dengan keberhasilan yang bapak capai”
“lalu mengapa kamu tidak bilang saat bapak kamu ada disini?”
“saya pikir itu bukan hak saya untuk mengatakannya, itu sepenuhnya ada ditangan bapak”
“tapi saya ingin bertanya”
“boleh silahkan”
“mengapa bapak melakukan hal ini?”
“saya ingin mencari yang selalu saja lari dari hidup saya”
“bapak berdoalah supaya tuhan membuat betah apa yang bapak inginkan sehingga ia tidak ada niat untuk lari lagi”
Wanita itu tersenyum penuh makna.
Berpisahlah mereka dijalan menuju masjid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Hanya (Manusia Bunglon)

AkuHanya (Manusia Bunglon) Jika kau bertanya seperti apa aku…. Aku…. Aku…. Anggap saja…. Anggap saja aku manusia bunglon… selalu berubah untuk bertahan disetiap situasi… Lambat… sangat lambat aku berjalan…… aku tak mampu mengejar…. entahlah…. Aku tak mampu… atau aku yang mengurung diri dalam delusiku sendiri…. Ada batas abstark yang membatasi aku dengan mereka…. seolah kami berada didunia berbeda yang berdampingan…. namun aku tak pernah mampu melangkah……. Aku mencoba…. Menjadi seperti mereka…. selalu mencoba…. Hingga aku tak tau siapa aku… Aku hanya menemukan diriku dalam mimpi… Mimpi… Mimpi…. Mimpi…. Yang terlepas didunia nyata…. Kugenggam erat mimpiku…. Karena ia mimpiku…. Milikku…. 20012019

Jalan cahya

Pagi hari menyapa Saatnya menarik mimpi keluar dari belukarnya Kelopak mata masihlah terpejam Sebuah tarikan nafas Dan sebuah senyuman Ungkapan syukur atas hari yang baru Jalanku semakin terang Dan takbisa kupungkiri Hangatnya kini makin menusuk kulit Tak kujadikan persoalan Demi menggapai tujuanku diujung jalan Tujuan yang menjadi harapan Jangan sampai menjadi mimpi belaka Cahayaku Terangi jalanku Jangan sampai menyilaukan mata Membutakan hati Agar kelak Aku mampu berpendar Menjadi setitik cahaya dalam kegelapan

Epilog: Paradoks Maya

Sebagai perantara pesan, aku berkelana dari satu mimpi ke mimpi yang lain, singgah sebentar dan beranjak pergi. Apa yang kau ingat dari kenangan-kenangan yang terekam? Nama tempat, nama permainan, nama teman atau kejadian, adalah hal-hal yang lambat laun mungkin akan terlupa. Tapi tidak dengan rasa! Kaulah yang memiliki kuasa atas dirimu sendiri, dan kau akan menyadari, betapa indahnya memori yang selama ini kau kubur, untuk menyambut sebuah kedatangan kembali. Sampai detik ini aku bertahan, dan sampai detik ini aku menghantarkan maya melalui mimpimu, berharap membakar paradoksmu, biarkan ia menjadi abu, dan kembali ketanah.