Sebuah Foto Keluarga
sebuah cerpen by Fitriani
sebuah cerpen by Fitriani
Didalam
sebuah rumah yang minimalis, dua orang muda-mudi sedang bercengkrama, dari
kedekatan itu terlihat kalau mereka adalah sepasang suami istri. “Mas foto
keluarga Mas, disimpan dimanaya? Tanya Linda pada suaminya, mendengar
pertanyaan istrinya Rizki kembali teringat kenangannya akan foto keluarga itu,
ia tersenyum. “Mas simpan difoto album nikahan kita” jawabnya mengingat dimana
ia menyimpan foto keluarganya, “foto albumnya ada diperpustakaan, dilemari
paling kanan, di rak ketiga dari atas” jawabnya memberikan informasi yang lebih
spesifik tepatnya letak foto keluarga itu. Dirumahnya yang minimalis ini Rizki
menghususkan sebuah ruangan yang diperuntukkan untuk solat yang sekaligus ia
modifikasi sebagai perpustakaan mini dirumahnya, karena memang kegemarannya
membaca buku, koleksi bukunnya terbilang banyak, mulai dari buku-buku bacaan
yang memang seharusnya ia miliki sebagai mahasiswa semester 4, ditambah lagi
buku referensi yang bejibun iabaca karena ia memang seorang entrepreneur muda
yang membuka usaha percetakan, dan juga food truck, plus buku-buku dari masa ia SD-SMP-SMA, ia
tidak pernah membuang buku-buku semasa ia sekolah dulu, katanya “sayangkan ini
buku loh!, isinya ilmu semua, masa tiap naik kelas beli buku baru, dan semester
depan udah ngga dipake lagi, haduh bisa nangis dia kalau dicampakkan cuman
gara-gara kita udah ngga belajar itu lagi” hal inilah yang membuat Rizki
memusiumkan semua buku-bukunya, ditambah lagi buku istrinya, yah walaupun buku
istrinya tidak sebanyak milik Rizki (awalnya, tapi lamakelamaan buku mereka
tidak jauh beda jumlahnya), hanya buku-buku yang berkaitan dengan kuliahnya,
beberapa majalah wanita, dan kebanyakan bukunya adalah novel-novel, mulai dari
novel-novel teenlit yang umumnya berceritakan romansa remaja (buku peninggalan
masa smp dan smanya), novel yang berbau komedi, berbau agama seperti karangan Habibur
Rahman, novel dari penulis Tere Liye, Asma Nadia, berbagai kumpulan cerpen yang
salah satunya karya Helvy Tiana Rosa, sampai novel-novel terjemahan, ia hampir
memiliki semua jenis novel itu, dan setiap bulannya pasti ada saja buku baru
yang bertengger manis di perpustakaannya, eits sepertinya ia tidak punya semua
jenis novel ada satu novel yang tidak ia punya dan tidak akan i abaca, karena
ia memang tidak meminantinya, yaitu novel berbau horror, ih… serem.
“Mas
ayok, keperpustakaan kita ambil fotonya” ajak Linda pada suaminya yang baru
saja selesai meneguk air putih dihadapannya itu. Linda segera berjalan melewati
meja dapur yang membatasi dapur dan meja yang sekarang sedang ditempati
suaminya, ia menarik kursi disamping suaminya itu “tapi aku laper makan dulu
ya” rengek Rizki pada istrinya karena ia memang sedang lapar-laparnya, setelah
ia menyelesaikan pekerjaannya dikantor, ia segera menuju ke universitasnya
karena jam kuliah yang sudah sangat dekat jadilah ia hanya membeli beberapa
roti sebagai penganjjal perutnya, dan setelah itu ia segera pulang kerumah.
“hmmm… nasinnya baru mateng sekitar 10 menit lagi” jawab Linda yang membuat
suaminya terlihat cemberut, (sambil beranjak dari kursi, dan berjalan sedikit ke depan dan berbelok ke kanan dimana
perpustakaan itu berada) “ya wes… ayok, daripada nungguin 10 menit disini,
mending diperpustakaan lumayan dapat 10 halaman kan” ucapnya sambil terus
berjalan, dan saat ia menengok ke kiri, dan kebelakang ia menepuk jidat “ aku
ngomong sama siapa sih”, ia memutar haluan dan kembali kedapur, ia melihat
istrinya masih duduk manis dikursinya dan tidak bergerak “nah loh… katanya mau
keperpustakaan, kok masih disitu, atau mau aku gendong nih” katanya sambil
tersenyum nakal, “Mas aku tadi juga mau pergi, tapi pas nengok Mas ngga ada”,
“loh kok nggak ada?”, “iya aku ketempat wudhu, taunya Mas malah langsung ke perpus”,
“wudhu?” Tanya Rizki, “ia Mas, kita keperpus ambil fotonya, sekalian solat zuhur
dulu, baru abis itu makankan?” ucap Linda yang gemas, dan tersenyum
sendiri melihat suaminya yang bengong, dan menekankan pada kata makan, rupanya
lapar membuat suaminya kurang konsentrasi.
“astagfirullah,
sudah masuk waktu zuhur” ucap Rizki seraya menepok jidatnya sendiri, ia tertawa
dan segera mencium kening istrinya, dan berdoa
“ rabbana hablana min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa
qurrata a’yunin waj’alnaa lil muttaqina imamma” ya
tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.s al-Furqaan [25]:74)
Rizki kemudian menggandeng tangan
istrinya menuju tempat wudhu, setelah selesai wudhu mereka segera menuju
perpustakaan untuk menunaikan salat zuhur, seuasai salat dan berdoa, Linda dan
Rizki membereskan peralatan salat mereka dan meletakkannya di salah satu rak
yang memang sengaja dikosongkan untuk menyimpan alat solat mereka. Rizki segera
menuju tempat dimana album foto itu berada. Linda tersenyum melihat ruangan
pepustakaan ini yang terlihat sama persis saat pertama kali ia masuk ke sini,
seluruh dindingnya dipenuhi rak buku yang memepet didinding, yang tingginya dua
meter, dan semua rak buku itu memiliki pintu kaca, jadi tidak ada buku yang
berdebu didalam sini, karpet bulu-bulu biru yang sangat nyaman, sebuah meja
panjang yang pendek kakinya, karena memang diperuntukkan untuk lesehan, dan
diatasnya bertengger manis sebuah printer, dan juga sebuah tangga kecil untuk
menggapai rak buku yang tinggi diletakkan di sudut kiri ruangan, dan sebuah
boneka winnie the pho yang sangat besar (terkecuali ini, boneka ini pertama
kali datang kesini bersama Linda).
Linda segera duduk didepan meja,
dan memeluk bonekanya, sembari menunggu Rizki mengambil album foto itu, ia tahu
foto itu adalah salah satu foto keluarga yang berharga baginya. “ini albumnya”,
Linda
segera mengambil album foto itu, yang bagian depan albumnya terlihat gambar jam
dinding berangka romawi, sebuah biola, dan partitur lagu yang terbaca berjudul
spring song, dan tulisan cover albumnya adalah ‘together... may you see your
plans and special dreams come true’ cover yang unik tidak seperti cover album
nikahan umunya yang pasti akan terlihat cerah dan mungkin ada gambar
love-lovenya, tapi album nikahanku ini covernya berwarna cokelat, suamiku
bilang “salah satu teman kita memberikan album foto, jadi ini aja yah, jadiin
album foto nikahan kita, kan jadi ngga usah beli lagi, ini sudah ada mbok yah
jangan disia-siakan, orangnya pasti juga senang kalau hadiahnya bisa kita
pakai” itu yang dia bilang, aku setuju saja, karena yah... aku setuju dengan
pendapatnya.
Aku membuka album foto itu,
terlihat foto pernikahan kami dengan para keluarga dan tamu undangan lainnya di
bagian atas, dan tepat di bawahnya terlihat foto keluarganya, tampak seorang
wanita paruh baya, yang kutangkap sebagai ibunya, dua orang gadis remaja, yang
salah satunya sangat kukenal, dan seorang anak berusia sekitar 8 tahun, yang
kutangkap itu pasti suamiku, yang merupakan anak bungsu, tak terlihat sesosok
yang memiliki ciri-ciri ayah dalam foto itu, karena ayah suamiku telah
meninggal saat ia kelas dua SD karena sebuah penyakit, yang telah lama
bersarang ditubuhnya, dan puncaknya adalah ketika ia kelas dua SD.
Aku tersenyum melihat foto itu,
kulihat suamiku yang dudukj disampingku ikut tersenyum dan ia terlihat
meneteskan air mata dari mata teduhnya, aku memeluknya. (saat hari pertama
pernikahan kami), sayang biar aku perkenalkan anggota keluargaku padamu secara
resmi sebagai seorang suami, ucap Rizki seraya tersenyum seraya mengeluarkan
sebuah foto dari dalam saku baju kokonya, foto itu telah dilapisi plastic,
dilihat dari warnanya yang memudar, foto itu terlihat sangat lama.
Ia mengelus foto yang ia letakkan dimeja, dan ia mulai
memperkenalkan sosok yang ada dalam foto itu, “kau lihat anak kecil itu?” “ya,
aku tahu itu pasti adalah kau”, jawab Linda seraya tersenyum manis, kemudian ia
menunjjuk sesosok wanita paruh baya “ini pasti ibu” ucap Linda percaya diri
karena ia sangat yakin itu adalah ibu suaminya, karena paras wajah mereka yang
terlihat sama, “yak kau benar sayang” ucap Rizki kepada istrinya, karena
tebakan istrinya yang benar, kemudian Rizki menunjuk seorang wanita yang
terlihat seperti anak SMA yang berdiri dipaling kiri stelah ibu, dan seorang
wanita yang terlihat seumuran dengannya, “kalau itu Mbak Gita, masak sama kakak
sendiri nggak kenal, ternyata mbak gita benar-benar mirip denganku saat
remajanya” ucapnya tersenyum karena melihat sosok kakak kandungnya ada dalam
foto keluarga suaminya. Rizki kemudian mencubit pipi istrinya “tapi Mbak Gita
nggak tembem kayak kamu” ucap Rizki meledek istrinya, “biarin kan aku jadi
lebih imut dari mbak gita, iya kan?” ucap Linda membalas ejekan suaminya. Rizki
kemudian menunjuk seorang wanita yang berada ditengah, diantara ibu, dan Mbak Gita,
yang tampak tersenyum bahagia, sambil mengacungkan gelasnya yang berisi es
kelapa, “ini siapa lagi kalau bukan Mbak Ayu, yang selalu Mas dan Mbak Gita
ceritakan kepadaku”, ucap Linda dengan nada dibuat seolah-olah ia cemburu
kepada kakak suaminya ini.
Linda selalu mengingat bagaimana Mbak Gita selalu
bercerita bagaimana seorang Mbak Ayu baginya, betapa baik, cantik, dan lembut,
dan tangguhnya Mbak Ayu, Mbak Gita selalu menghubungkan setiap kejadian yang ia
alamai, dengan sosok Mbak Ayu, seolah-olah dejavu. Mbak Gita sangat menjadaikan
sahabatnya ini sosok panutan, begitu pula suaminya ini yang sangat mengaggumi
sosok kakakknya.
Linda mengetahui mengapa kedua orang ini sangat
mengaggumi sosok Mbak Ayu, adalah saat Rizki mengkhitbahnya, ia menceritakan
segala hal tentang keluarganya, sebenarnya tidak hanya ia tapi juga Mbak Gitaku,
yang turut menambah cerita yang terlupakan oleh Rizki, atau sekedar mengiyakan
apa yang dikatakan Rizki. Dan pendengar dari cerita ini adalah aku seorang,
karena ayah dan ibu tentu saja telah tahu ceritanya, aku mendengarkannya dengan
khidmat. Rizkipun mulai bercerita mengenai ayahnya yang telah berpulang kerahmatullah,
dan ia menceritakan saat-saat yang paling ia ingat dalam hidupnya.
Rizki tersenyum kepada ayah dan ibuku, dan memulai ceritanya,
“saat itu aku duduk dibangku SD, karena ayah telah tiada, maka ibu harus
menjadi tulang punggung keluarga, ibu menjadi buruh cuci di rumah tetangga, dan
ibu juga mengambil pesanan-pesanan jajanan, dan juga membuatnya untuk dititip
ke warung sebagai penghasilan tambahan, mbakku waktu itu seharusnya duduk di
kelas tiga SMA, namun karena terhlang biaya, mbakku lebih memilih untuk
berhenti dari sekolahnya, dan membantu ibu mencuci, dan membuat jajanan kue,
kata mbakku sih “soal itu gampang aja, meuntut ilmu itu dari buaian hingga
keliang lahat, selama mbak masih bernafas mbak masih bisa belajar kok, nanti
kalau kamu sudah bisa mandiri, mbak akan ikut kejar paket, untuk sekarang biar
mbak kursus masak sama ibu, kan lumayan ngga harus bayar, dan dekat lagi
dirumah sendiri, nggak perlu cari tempat kursus yang jauh dan mahal” begitu
ucap Mbak Ayu saat memutuskan untuk berhenti dari sekolahnya”, “sangat sayang
sekali padahal Ayu bercita-cita menjadi seorang perawat” sela Mbak Gita. “iya
nak, dan waktu itu, keadaan ekonomi kami juga pas-pasan jadi kami hanya bisa
membantu sedikit, dan memperbanyak doa, agar Allah lapangkan hatinya” sela ayah
sembari mengingat memori lama itu. “saat itu aku kelas 3 SD, aku masih bocah
ingusan, yang selalu saja merajuk bila tak terpenuhi kebutuhannya, suatu hari
aku mendapat tugas sekolah untuk membawa foto keluarga, namun kami tidak punya
satupun foto keluarga, karena tidak ada, aku merajuk, bahkan menangis, mungkin
pikirku saat itu, ‘kenapa semua orang punya foto keluarga sedangkan aku tidak?’,
aku merajuk sejadinya, Mbak Ayupun melobiku dengan foto-foto tunggal yang kami
punya, ‘kalau Mbak bikinkan foto keluarga dari foto-foto ini bagaimana?’ Tanya Mbak
Ayu. Akupun berhenti menangis, dan sangat senang mengetahui akan punya foto
keluarga ‘memang bisa mbak foto itu jadi foto keluarga?’ tanyaku bingung
memperhatikan foto satu-satu yang ada di tangan Mbak Ayu.
“kamu jangan salah ditangan Ayu, apapun itu
memungkinkan” kenang Gita pada sahabatnya ini. “iya waktu itu saya berpikir
bagaimana mungkin, tetapi, Mbak Ayu menggunting foto itu pada bagian garis
tubuhnya, dan menempelkan foto itu tersusun rapi seperti foto keluarga pada umunya,
dengan latar taman yang Mbak Ayu gambar, meskipun itu hanya gambar taman yang
terbentuk karena pensil-pensilku, Mbak Ayu menempel foto itu menggunakan
sedikit adonan sagu milik ibu, taman yang tak berwarna, namun ditangan Mbak Ayu,
semuanya menjadi indah” kenang Rizki mengingat memori itu.
“belakangan aku tahu foto-foto itu adalah foto Mbak Ayu
yang digunting dari foto kelasnya, dan foto ibu dan ayah dari foto buku nikah
ibu yang digunting, dan fotoku sendiri adalah, sisa foto dari saat mendaftarkan
aku sekolah SD yang selalu disimpan oleh Mbak Ayu” ucap Rizki, “keadaan kami
saat itu benar-benar terjepit” sambungnya, “setelah beberapa lama, Mbak Ayu
mulai sering terkena demam, karena kelelahan. Suatu hari saat kami selesai
membuat es kelapa yang akan dijual untuk berbuka puasa” ucap Rizki “ah… iya
saat itu kita bisa makan es kelapa saat berbuka, karena ada sisa yang tidak
terjual” potong Mbak Gita, tapi aku malah melihat Mbak Gita sekarang sedang
ngiler memikirkan es kelapa, “ah… sangat sulit untuk membuat racikan yang sama
seperti buatan ibu, dan Ayu, kadang pas, kadang kurang dan lebih” ucap Gita
mengenang sahabatnya. Aku tertawa melihat Mbakku, yang memang memiliki minat
yang tinggi pada makanan, namun yang membuatku iri adalah badannya Mbak Gita
selalu begitu saja tidak pernah berubah meskipun ia makan banyak.
“saat itu kami menikmati es kelapa ditempat kami
berjualan, karena sudah masuk waktu berbuka, kan berbuka harus disegerakan”
canda Rizki, “saat kami selesai menikmati hidangan kami, saat itu kebetulan
lewat tukang foto keliling”, “dulu itu banyak tukang foto keliling, yang
langung bisa dicetak ditempat, kalau sekarang mah, sudah ada studio foto elite,
ditambah lagi, handphone yang bisa memfoto kapanpun kita mau” sela ibu.
Gita berbisik pada Ayu “Yu, ada tukang foto, kita foto
yuk”, “iya aku juga mau tapi uangnya kurang”, kata Ayu melihat uangnya, “udah
kita bayar setengah-setengah aja” rayu Gita pada Ayu, “baiklah” akhirnya Ayu
setuju. ‘om boleh tolong difotoin’, ucap Gita pada tukang foto, ‘eh mau
kemana?’ Tanya ibu saat Gita menyingkir saat hendak difoto, ‘bikin foto
keluarga bu’ dalih Gita, ‘udah kamu maukemana, kamu kan juga anak ibu’, Ayu
tertawa, ‘iya dan kamu adalah adik pertamaku, sebelum si Rizki’ Ayu berbicara
sambil tersenyum, dan menjahili pipi Rizki, ‘iya mbak Gitakan sama kayak Mbak
Ayu, Mbaknya Rizki juga’ ucap Rizki kecil, akhirnya Gita mau diajak foto
bersama, merekapun membuat pose, dengan susunan, ibu dikanan, lalu Mbak Ayu,
dan disampingnya Mbak Gita, dan Rizki kecil duduk, ditengah, tepat didepan Mbak
Ayu, yang mengangkat gelasnya dan tersenyum lebar” ucap Rizki seraya
mengeluarkan foto dari tasnya, dengan pose yang sama seperti yang Rizki
ceritakan.
“berapa pak fotonya?” Tanya Gita, “nggak usah neng,
nengbisa kasih bapak es kelapa kebetulan bapak belum buka” kata tukang foto
itu, ibupun segera memberikan pelayanan bagi bapak itu, segelas es kelapa
buatan kami, dan tak lupa ibu memberikan bungkusan es kelapa bagi tukang foto
itu.
Setelah itu kami membuat janji untuk pergi teraweh
bareng, namun kami harus kembali kerumah untuk membereskan barang, dan Gita
harus mengambil mukenahnya dirumah, “saat pulang berjualan mbak Ayu terlihat
sangat senang, namun itu tidak bisa menutupi kepucatan yang tampak di wajah Mbak
Ayu, sepertinya Mbak Ayu terlihat sangat lelah” ucap Rizki mengingat kondisi Mbaknya
itu, terlihat rona sedih dari wajah pencerita, begitu pula dari wajah Mbak Gita,
ayah, dan ibu. Sembari berkemas Ayu berbicara kepada Rizki yang ikut membantunya
didapur ini “Riz, kamu ingatkan kalau semua manusia, terutama kaum muslim itu
adalah saudara?” Tanya Ayu mencoba mengetes pelajaran adiknya, “ingat dong Mbak,
kita bersaudara bukan karena kita dilahirkan dari rahim yang sama, tapi kita
adalah saudara karena kita dalah umat manusia, terlebih lagi kita adalah
saudara seakidah” ucap Rizki dengan bangga, “pinternya adiknya Mbak Ayu” ucap Ayu
sambil menngacak pelan rambut adiknya itu, melihat Mbaknya yang lelah Rizki
menyuruh Mbaknya untuk istirahat “udah Mbak istirahat aja, kan tinggal dikit Rizki
bisa kok selesaiin” ucap Rizki, Ayu hanya mengiyakan perkataan adik bungsunya
ini, karena memang iapun sangat lelah, “nanti kalau Mbak Gita sudah datang,
nanti biar Rizki panggilin Mbak”.
Tak berapa lama kemudian Gita datang siap dengan
mukenahnya untuk pergi shalat, “Rizki panggilin Mbak Ayu, bilang Mbak Gita
sudah datang” ucap ibunya yang baru saja akan pergi mengambil air wudhu, “Assalamualaikum,
Mbak Ayu, Mbak Gita sudah datang”, tidak ada respon dari pemilik kamar, “Assalamualaikum,
Mbak Ayu, Mbak Gita sudah datang” ucap Rizki sekali lagi, karena tidak dijawab,
dan memang bukan kebiasaan Ayu untuk tidak menjawab salam, Rizkipun ngeloyor
masuk kekamar mbaknya itu, dilihatnya mbaknya yang sedang tertidur pulas. “Mbak
Gita, Mbak Ayunya lagi tidur, kayaknya Mbak Ayu capek banget deh” ucap Rizki
memberikan laporan kepada Mbak Gita, “memangnya tadi Mbak Ayu nggak ngomong
kalau nggak ikut salat tarawih, yaudah ngga usah dibangunin” ucap Gita iba
mengingat kondisi sahabatnya kini, “nggak kok Mbak, Mbak Ayu bilang mau ikut
tarawihan, malahan Mbak Ayu sekarang tidur pake mukenah, kayak orang pakai
selimut” balas Rizki. “lho, Mbak Ayunya belum di panggil, entar lagi mau
berangkat” ucap ibu saat selesai wudhu namun belum juga mendapati putrinya bersiap,
karena memang biasanya, Ayulah yang selalu paling pertama, dan mengeluh akan
terlambat karena semuanya belum siap. “Mbak Ayu lagi tidur Bu” laporan Rizki
pada ibunya kali ini, “tidur?” kening ibu berkerut, “Assalamualaikum, Ayu ini Gita
sudah datang ayo kita kergi tarawehan”, lagi-lagi takada respon, “Assalamualaikum,
Ayu ini Gita sudah datang ayo kita pergi tarawehan” dan kembali tak ada respon,
terpaksa ibu, Gita dan Rizki kembali ngeloyor masuk kedalam kamar Ayu, karena
khawatir, sakit Ayu yang semakin memburuk, saat pintu dibuka kembali tampak Ayu
yang tengah tertidur pulas, dan telah mengenakan mukenahnya, pertanda ia siap
pergi tarawehan.
Ibupun mengguncang pelan tubuh Ayu untuk
membangunkannya, “Ayu nggak pergi tarawehan?”, namun taka da respon dari
pemilik tubuh, Gita maju menggenggam tangan Ayu, dan dengan gemetar ia mengecek
nadi dan nafas Ayu, “Innalillahi wainnalillahi rajiun” ucap Gita, “Ibu, Ayu
telah pergi mendahului kita” ucap Gita seraya menatap wajah ibu, dan beralih
menatap wajah Rizki, “Rizki Mbak Ayu telah pulang, kepada pemilik sejatinya”
ucap Gita pada Rizki, Rizki yang menangkap maksud dari Mbak Gita kemudian meneteskan air mata
dalam diam “Mbak Ayu tunggu Rizki dan ibu ya, insya Allah kami akan menysul
Mbak Ayu” ucap Rizki lirih, “jangan lupa nantikan aku pula dijannahnya” ucap Gita kemudian.
Sampai pada kisah ini semua orang kembali menitikkan
air mata seolah hal itu baru kemarin terjadi, dan diantara airmatanya Rizki
tersenyum “Mbak Ayu, selalu ada bersama saya, dan kita semua” ucap Rizki,
kemudian membalik foto itu, terlihat tulisan tangan Ayu dari pensil dibalik
buku itu. Saat itu Ayu sangat senang memiliki foto keluarga, ia melihat foto
ditangannya, Ayu telah siap untuk pergi shalat, bahkan ia telah mengenakan
mukenahnya, melihat foto itu Ayu mengambil pensil dan mulai menulis “Rizki,
adik Mbak Ayu, dan juga adik ku yang satunya lagi, Gita. Hari ini kita punya
foto keluarga rasanya senang sekali, kita mengabadikan momen kebersamaan kita.
Saat melihat air didalam gelas, Mbak Ayu teringat akan lautan, seperti lautan
yang tak tahu dimana ujungnya saat engkau berlayar, jalani hidup ini dengan
rasa penasaran, dan rasa itu membuatmu mencari tahu sejauh apa engkau akan
berlayar sampai menginjjakkan kaki kembali didaratan, walaupun ombak ganas, dan
badai mengelilingimu, jadilah pelaut yang mampu bersahabat dengan lautan.
Seperti langit yang tinggi, tak ada yang akan melarangmu menggantung
cita-citamu dilangit tuhan, maka gantung cita-citamu setinggi mungkin, karena
langit tuhan terbuka untuk siapa saja, dan jangan lupa untuk tersenyum dipagi
hari, maka sepanjang hari insya allah engkau akan tersenyum selalu, ibu ayo
senyum, senyum ^^” setelah menulis Ayu
merasa sangat lelah, iapun pergi tidur, dengan mukenahnya sebagai selimutnya,
dan juga foto itu yang tak lepas dari genggaman Ayu, Ayu telah tertidur dan tak
akan ada yang mengganggu.
Selepas kepergian Mbak Ayu, ibu, Rizki, dan mbak gita
menjalani kehidupan seperti biasa, bedanya, ada semangat baru dalam diri
mereka, ditambah sekarang Gita memiliki seorang adik yang menemaninya, dan juga
Rizki sering bermain bersama adiknya Mbak Gita, Linda. Saat menjelang kelulusan
SMA, rupanya tuhan telah memanggil ibu lebih dahulu daripada Rizki, akhirnya,
ia menjalani tahun akhir SMAnya tanpa kehadiran seorang ibu, dan Mbak Ayu, Rizki
ditemani, oleh Mbak gita, dan adik kecil Mbak Gita yang lucu. Selepas SMA Rizki
kuliah, sambil membuka usahanya sendiri untuk membiayai kuliahnya, dan juga
sebagai penghasilan bagi orang-orang disekitarnya, yah orang menyebutnya entrepreneur
muda, dan sekarang disinilah ia sekarang, ia mengkhitbah adik dari Mbak Gita,
teman kecilnya. “ya Allah, apakah hambamu ini pantas mendapatkan nikmat ini,
setelah engkau beri hamba begitu banyak nikmat?” ucap Linda lirih, Linda hanya
mampu mengingat sedikit kenangannnya dengan Mas Rizki, saat ia kecil, dan lewat
foto masa kecilnya bersama Mas Rizki, sekarang ia telah tumbuh menjadi seorang
wanita, seorang msulimah, yang saat ini dikhitbah.
“jika Mas Rizki dicintai oleh ayah, ibu, dan juga Mbak
Gita, saya akan mencintai Mas karena Allah” ucap Linda tertunduk, seisi rumah
mengucapkan hamdalah mendengar jawaban Linda. Saat ini Linda tengah memeluk
suaminya, mengingat semua yang telah terjadi. “Mas fotonya diperbanyak aja”
ucap Linda, “udah sayang” ucap Rizki tersenyum, memperlihatkan ponselnya, yang
sekarang juga memiliki foto itu, “aku juga mau Mas” ucap Linda seraya menarik
manja baju koko suaminya itu, “udah Mas kirim kok, belum nyampe ya? Padahal paket
kilat loh” ucap Rizki dengan candaannya, Linda segera mengecek ponselnya, dan
ia tersenyum mendapati foto itu juga berada diponselnya. “nah sekarang kita
foto Mas” ajak Linda sembari mengulurkan ponselnya, Rizkipun memeluk istrinya,
dan yang memfoto adalah istrinya, merekapun segera mencetak foto yang mereka
buat, dan menaruhnya di album foto lainnya yang berisi foto, yang diambil
setiap harinya, merekapun kembali meletakkan foto itu didalam album, dan
menyimpannya ditempatnya, dan Rizkipun mulai bercerita mengenai harinya hari
ini, dengan Linda sebagai pendengar dan juga komentator.
9-11
Nov 2017
Komentar
Posting Komentar