Langsung ke konten utama

Bunga api Vs Bulan

Bunga api Vs Bulan
fitriani_31122017


Dewi malam kembali menduduki singasananya seperti biasa, tak peduli apakah ini hari istimewa ataukah hari naas penuh duka. Ia menjadi saksi atas apa yang terjadi disini. Dengar! dengarlah cerita yang ia sampaikan lewat angin malam yang berhembus lemah namun syahdu membawa dingin, menyentuh tanah, menembus tembok-tembok rumah, menggoyangkan ranting-ranting kurus, menggugurkan daun yang tak berpegang erat, hingga sampai ketelinga-telinga para manusia.


          Ditengah kota metropolitan, diantara tingginya tembok-tembok gedung, ada sebuah rumah renta berdindingkan kayu-kayu bekas siasa proyek pembangunan, beratapkan jerami, karena tak mampu membeli atap genting, apalagi seng yang mahal harganya, bila hujan datang, ia harus menepi di sudut, di pojok-pojok rumahnya karena atap rumahnya yang bolong-bolong. Dan keesokan harinya harus ia tambal dengan jerami baru, kalau ia tak mau esok terulang hal yang sama.


          Malam itu para manusia penghuni gedung tinggi berusaha menandingi sang dewi malam, mereka ledakkan berbagai macam petasan dilangit malam itu, kata para penghuni gedung tinggi, “itu sangat indah menawan”. Tapi sang penghuni rumah renta malah menganggap hal itu sungguh menjengkelkan, terlebih lagi dengan suara-suara dentuman yang keluar setiap kali petasan itu meledak…. Bam… bam… bam…. Duam…. Bam… setiap suara yang timbul sungguh menakutkan baginya, hingga ia tak berani menatap mata sang dewi malam itu. Ia takut kalau-kalau suara itu adalah suara senapan yang akan menghancurkan kota ini, ia takut kalau suara itu adalah suara bom-bom yang dikirim oleh musuh dari luar tembok kota, yang tak seorangpun tahu seperti apa wajahnya, yang akan meluluhlantakkan dan meratakan kota ini menjadi puing-puing tiada guna.


          Satu dentuman ia dengar, ia marah kepada para penghuni gedung, “untuk apa kau buang percuma uangmu itu? Setiap letusan kau buang uangmu 1.000, 10.000, 1.000.000, atau sejumlah 1.000.000.000, yang hanya akan lenyap menjadi debu yang bahkan tak dapat kau tukarkan dengan sesendok nasi. Lebih baik kau hibahkan kepada orang-orang tak mampu sepertiku ini”. Kemudian suara dentuman lain terdengar, namun dentuman ini membuat nyalinya menciut, teringat suara letupan-letupan senapan dan suara ledakan bom yang dahulu ramai diberitakan koran-koran pembungkus kacang rebus, yang aku beli di stasiun kereta sewaktu aku memutuskan untuk pindah ke kota ini, dengan harapan mengadu nasib, agar kehidupan menjadi lebih baik. Oh… bukan-bukan! yang aku maksud bukanlah mengadu nasib seperti mengadu ayam-ayam dikampungku dulu, mengadu nasib untukku adalah mencari pekerjaan yang lebih baik dari sekedar mencangkul dikebun orang, dan yang aku dengar bekerja disini dibayar dengan uang sejumlah nominal yang cukup besar, tak seperti juragan tanah yang membayarku dengan seikat padi, seikat singkong, dan sebuah jantung pisang.


          Kembali terdengar suara-suara letupan itu, ia akhirnya memberanikan diri menengok keadaan sang dewi malam yang diteror para manusia penghuni gedung itu. Ia malah tertawa menyindir “lihat saja hasil yang manusia itu lakukan, kembang api yang mereka ledakkan bahkan takkan menggapai sang dewi, "cuih” ia meludah ketanah “lihat saja bunga-bunga api yang diciptakan  manusia penghuni gedung itu, setelah mekar merekah ia lenyap seketika” timbul rasa bangganya pada sang dewi “lihatlah dewiku ini, ia selalu menyinari bumi ini dengan keindahan, keindahan yang takkan sirna! Ditambah lagi ia sangat anggun, begitu lembut, tidak seperti bunga-bunga api mu itu yang sangat ribut! Membuat kegaduhan! Dan hanya sementara” amarah penghuni rumah renta kembali naik.


          Ia kembali mendengar letupan-letupan itu selama beberapa saat, dan akhirnya ia bisa kembali tenang
setelah semua suara ribut itu sirna. Ia kembali menghadap sang dewi malam, memejamkan mata, dan merasakan kelembutan angin yang dikirim sang dewi malam untukknya. Tidak sebenarnya bukan hanya untukknya, tetapi untuk semua orang tanpa terkecuali, tetapi mereka tak ingin merasakannya, bahkan mereka menolaknya dengan  bersembunyi di bawah selimut-selimut mereka.


          Dalam kekhusyukan ia mendengus aroma lain dari udara yang berhembus, ia mendengar  suara bisik-bisik yang tak asing, seperti suara api dari tungkunya saat ia hendak merebus air untuk menyeduh kopi hitam di depan rumahnya. Betapa marahnya ia  melihat rumahnya terbakar api. Rumahnya terbakar karena  percikan api, dari sisa bunga api penghuni gedung itu, percikan api yang berubah menjadi raksasa yang melahap rumahnya bulat-bulat tanpa ampun. Betapa marahnya ia pada penghuni gedung-gedung itu, yang telah mengirimkan sepercik petaka baginya. Ia marah, ia mencerca, mencaci-maki para penghuni gedung itu, namun tak seorangpun dari mereka yang mendengarkannya, mereka semua telah terlelap dalam tidur nyenyak mereka.



          Ia marah, namun sekarang ia sudah terlalu lelah untuk meluapkan emosi kemarahannya, ia menyerah dan akhirnya mati dalam tangis kemarahannya. Airmatanya mengalir membawa debu-debu yang masih membara dari rumahnya, yang kemudian mengering, dan diterbangkan ke udara, hingga akhirnya menghilang tanpa jejak. Tinggalah ia seorang diri, mati terkubur debu-debu, dan arang membara rumahnya sendiri, dan bahkan tak dikenali siapapun. Malam itu sang dewi telah kehilangan pemujanya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Hanya (Manusia Bunglon)

AkuHanya (Manusia Bunglon) Jika kau bertanya seperti apa aku…. Aku…. Aku…. Anggap saja…. Anggap saja aku manusia bunglon… selalu berubah untuk bertahan disetiap situasi… Lambat… sangat lambat aku berjalan…… aku tak mampu mengejar…. entahlah…. Aku tak mampu… atau aku yang mengurung diri dalam delusiku sendiri…. Ada batas abstark yang membatasi aku dengan mereka…. seolah kami berada didunia berbeda yang berdampingan…. namun aku tak pernah mampu melangkah……. Aku mencoba…. Menjadi seperti mereka…. selalu mencoba…. Hingga aku tak tau siapa aku… Aku hanya menemukan diriku dalam mimpi… Mimpi… Mimpi…. Mimpi…. Yang terlepas didunia nyata…. Kugenggam erat mimpiku…. Karena ia mimpiku…. Milikku…. 20012019

Jalan cahya

Pagi hari menyapa Saatnya menarik mimpi keluar dari belukarnya Kelopak mata masihlah terpejam Sebuah tarikan nafas Dan sebuah senyuman Ungkapan syukur atas hari yang baru Jalanku semakin terang Dan takbisa kupungkiri Hangatnya kini makin menusuk kulit Tak kujadikan persoalan Demi menggapai tujuanku diujung jalan Tujuan yang menjadi harapan Jangan sampai menjadi mimpi belaka Cahayaku Terangi jalanku Jangan sampai menyilaukan mata Membutakan hati Agar kelak Aku mampu berpendar Menjadi setitik cahaya dalam kegelapan

Epilog: Paradoks Maya

Sebagai perantara pesan, aku berkelana dari satu mimpi ke mimpi yang lain, singgah sebentar dan beranjak pergi. Apa yang kau ingat dari kenangan-kenangan yang terekam? Nama tempat, nama permainan, nama teman atau kejadian, adalah hal-hal yang lambat laun mungkin akan terlupa. Tapi tidak dengan rasa! Kaulah yang memiliki kuasa atas dirimu sendiri, dan kau akan menyadari, betapa indahnya memori yang selama ini kau kubur, untuk menyambut sebuah kedatangan kembali. Sampai detik ini aku bertahan, dan sampai detik ini aku menghantarkan maya melalui mimpimu, berharap membakar paradoksmu, biarkan ia menjadi abu, dan kembali ketanah.